Minggu, 02 November 2014

Dilema Ketergantungan pada Modal Asing

Dilema Ketergantungan pada Modal Asing

Persoalan ekonomi rakyat tidak dapat dipisahkan dari persoalan ketergantungan antara rakyat di satu pihak dan pihak-pihak lain (pemerintah, pengusaha besar, dan dunia internasinal). Seperti sering dinyatakan, terutama oleh sebagian besar kelompok pemikiran sosialis dan kiri, pola ketergantungan itu telah berakibat terjadinya proses penghisapan yang dilakukan pihak kuat terhadap ekonomi rakyat di berbagai tempat, lapisan, sektor, dan kawasan. Bahkan di negara miskin. Penghisapan itu telah dimungkinkan berkat bantuan aktor-aktor dan kebijakan yang lahir dari proses interaksi dan rekayasa di antara kekuatan politik-ekonomi, lokal, nasional, atau asing yang bekerjasama langsung maupun tidak langsung.

Persoalan ketergantungan dan penghisapan terhadap ekonomi rakyat ini telah dikenal dalam dunia pemikiran politik dan ekonomi di Indonesia sejak sekurang-kurangnya awal 60-an. Pada awal 60-an, maupun sesudahnya, politik luar negeri Indonesia menghadapi dilema antara usaha pencapaian kemerdekaan secara total dalam lapangan ekonomi dan budaya –setelah tercapainya kemerdekaan politik– dan usaha pembangunan yang menyangkut hubungan dan bantuan ekonomi luar negeri. Bantuan itu bukannya tanpa syarat, melainkan banyak syarat yang menjebak negara penerimanya.

Sejak era Soekarno, situasi dilematis ini sudah disadari. Akan tetapi, ia sebenarnya tidak dapat berbuat banyak untuk menghindarinya. Oleh karena itu, di balik semangat antiimperialismenya, Bung Karno bukan tidak mencari bantuan luar negeri dalam masa pemerintahannya, misalnya dalam pembebasan Irian Jaya. Demikian juga di masa pemerintahan orde baru. Bukan pula tidak punya batasan yang berpedoman pada soal bantuan luar negeri. Ketetapan MPR IV/1978, “Arah Pembangunan Jangka Panjang”mpasal 11 secara normatif berbunyi: “Pembangunan Nasional memerluka investasi dalam jumlah yang besar yang pelaksanaannya harus berlandaskan kemampuan sendiri. Adapun bantuan luar negeri merupakan pelengkap”.  Presiden Soeharto dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 1978 menegaskan pula, “Kita tidak perlu kehilangan harga diri dan kehilangan kepercayaan pada diri sendiri dengan menerima bantuan dari negara lain.”

Pada tahun  196-0 hingga 1965, kebijakan politik bebas aktif telah dengan tegas diartikan tidak semata-mata untuk mengusahakan perimbangan terhadap salah satu blok, tetapi sekaligus diupayakan menuju politik berdikari dalam bidang ekonomi dan menolak setiap ketergantungan kepada imperialisme. Berdikari di bidang ekonomi dianggap sebagai prasyarat untuk kemerdekaan sejati dalam bidang politik maupun kebudayaan. Doktrin berdikari dianggap sebagai puncak dari politik luar negeri yang benar-benar bebas. Aktif dalam politik luar negeri diberi arti bahwa Indonesia harus mengambil peran sebagai pimpinan untuk membawa semua kekuatan progresif ke dalam suatu front internasional untuk kemerdekaan dan perdamaian untuk melawan imperialisme dan kolonialisme.

Sementara itu, Indonesia dalam perencanaan, strategi, dan kebijakan pembangunan ekonomi, seperti yang dilakukan negara-negara berkembang di luar Blok Sosialis sejak tahun 1950-an, ternyata tidak mampu membendung pengaruh teori tentang pertumbuhan ekonomi yang melihat peranan modal sebagai faktor yang paling menentukan dan sebagai parameter yang strategis. Hasilnya, model dari teori ini diterapkan di Indonesia dengan ambisius sesudah masa periode pascatahun 1966. Sudah tentu, terdapat berbagai aspek pemikiran dan variasi teori yang diramu menjadi satu, tetapi semuanya berkisar pada pokok pemikiran, yaitu pertumbuhan ekonomi yang mau tidak mau sangat bergantung dengan bantuan luar negeri.

Singkatnya, strategi pencapaian target pertumbuhan GNP yang tinggi dan cepat telah menyedot sumber energi bangsa guna diarahkan pada kegiatan usaha di sektor modern walaupun sektor tradisional katanya tidak dilupakan. Kenyataannya, memang tidak dipentingkan, bahkan kerap kali harus dikorbankan demi mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya. Biar bagaimanapun, tingkat pertumbuhan yang diinginkan itu sangat bergantung pada produktivitas yang harus dicapai dengan cara kerja yang efisien. Selanjutnya, tingkat produktivitas bergantung pada teknologi, modal, dan keterampilan yang tinggi. Disinilah lapisan masyarakat yang kurang terampil, kurang pendidikan, kurang modal, dan kurang mampu menyerap teknologi yang lebih maju terpaksa harus ditinggal dalam proses pembangunan.

Melalui strategi yang mengabdi kepada pertumbuhan yang tinggi ini, pihak yang memperoleh kesempatan untuk maju adalah lapisan masyarakat yang berpendidikan tinggi, memiliki modal, atau memiliki keterampilan tinggi. Oleh karena lapisan masyarakat seperti ini memang tidak besar di negara sedang berkembang, hanya sebagian kecil masyarakat yang akan maju, bahkan menggeser golongan ekonomi rakyat. Hal ini tampak pada gejala majunya industri modern yang berakibat pada matinya industri kecil dan sedang yang tidak mampu bersaing karena sektor tradisional biasanya menyerap tenaga kerja yang luas. Runtuhnya sektor ini praktis diikuti munculnya berbagai bentuk pengangguran.

Lahirnya dampak sampingan itu sepertinya tidak dihiraukan. Hal yang lebih penting digarap cara mencari dan mengakumulasi modal besar itu untuk memajukan sektor modern. Dari titik tolak ini, hampir setiap negara miskin, termasuk Indonesia, dihadapkan pada pilihan sulit, yaitu lingkaran setan (vicious circle). Logikanya, kemampuan investasi bergantung pada tingkat tabungan. Demikian juga jika peranan pemerintah sangat diharapkan, tabungan pemerintah bergantung pada pendapatannya yang diperoleh dari masyarakat lewat pajak. Jadi, tabungan pemerintah pun bergantung pada penghasilan masyarakat yang bergantung pada kemampuan produksi. Hal ini kembali lagi bergantung pada kemampuan investasinya.

Menghadapi masalah ini, Indonesia dan negara berkembang pada tahap itu mempunyai dua pilihan: berusaha memperoleh modal dari luar negeri atau bersandar pada milik mereka, khususnya sumber daya manusia beserta kekayaan alamnya. Pilihan lain sudah barang tentu adalah mengundang modal asing dan mendapatkan utang luar negeri. Masalah yang timbul dalam pilihan-pilihan itu adalah tidak dapat dihindarinya ketergantungan pada pemerintah lain dan modal asing, terutama perusahaan multinasional. Jika tawar-menawar dari negara yang bersangkutan lemah, urusan penanaman modal dan produksi yang dihasilkan akan ditentukan berdasarkan pada kepentingan luar negeri yang kenyataannya mengabdi pada mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempedulikan akibat-akibatnya. Demikian pula, investasi fasilitas umum dan prasarana dari pemerintah pasti akan menjurus ke arah yang memperkuat posisi, iklim, dan kondisi yang lebih baik bagi perkembangan perusahaan-perusahaan asing, sektor modern, dan perkotaan. Akibat yang terjadi, menajamnya disparitas sosial-ekonomi dan makin parahnya ketergantungan kepada luar negeri yang diikuti ambruknya sektor ekonomi rakyat secara sistematis.


Ditulis dari buku
Judul               : Transformasi Ekonomi Rakyat
Pengarang       : Julius Bobo, SE, MM

Penerbit          : Cidesindo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar