Dilema
Ketergantungan pada Modal Asing
Persoalan ekonomi rakyat tidak dapat dipisahkan
dari persoalan ketergantungan antara rakyat di satu pihak dan pihak-pihak lain
(pemerintah, pengusaha besar, dan dunia internasinal). Seperti sering
dinyatakan, terutama oleh sebagian besar kelompok pemikiran sosialis dan kiri,
pola ketergantungan itu telah berakibat terjadinya proses penghisapan yang
dilakukan pihak kuat terhadap ekonomi rakyat di berbagai tempat, lapisan,
sektor, dan kawasan. Bahkan di negara miskin. Penghisapan itu telah
dimungkinkan berkat bantuan aktor-aktor dan kebijakan yang lahir dari proses
interaksi dan rekayasa di antara kekuatan politik-ekonomi, lokal, nasional,
atau asing yang bekerjasama langsung maupun tidak langsung.
Persoalan ketergantungan dan penghisapan terhadap
ekonomi rakyat ini telah dikenal dalam dunia pemikiran politik dan ekonomi di
Indonesia sejak sekurang-kurangnya awal 60-an. Pada awal 60-an, maupun
sesudahnya, politik luar negeri Indonesia menghadapi dilema antara usaha pencapaian
kemerdekaan secara total dalam lapangan ekonomi dan budaya –setelah tercapainya
kemerdekaan politik– dan usaha pembangunan yang menyangkut hubungan dan bantuan
ekonomi luar negeri. Bantuan itu bukannya tanpa syarat, melainkan banyak syarat
yang menjebak negara penerimanya.
Sejak era Soekarno, situasi dilematis ini sudah
disadari. Akan tetapi, ia sebenarnya tidak dapat berbuat banyak untuk
menghindarinya. Oleh karena itu, di balik semangat antiimperialismenya, Bung
Karno bukan tidak mencari bantuan luar negeri dalam masa pemerintahannya,
misalnya dalam pembebasan Irian Jaya. Demikian juga di masa pemerintahan orde
baru. Bukan pula tidak punya batasan yang berpedoman pada soal bantuan luar
negeri. Ketetapan MPR IV/1978, “Arah Pembangunan Jangka Panjang”mpasal 11
secara normatif berbunyi: “Pembangunan Nasional memerluka investasi dalam
jumlah yang besar yang pelaksanaannya harus berlandaskan kemampuan sendiri.
Adapun bantuan luar negeri merupakan pelengkap”. Presiden Soeharto dalam Pidato Kenegaraan 16
Agustus 1978 menegaskan pula, “Kita tidak perlu kehilangan harga diri dan
kehilangan kepercayaan pada diri sendiri dengan menerima bantuan dari negara
lain.”
Pada tahun
196-0 hingga 1965, kebijakan politik bebas aktif telah dengan tegas
diartikan tidak semata-mata untuk mengusahakan perimbangan terhadap salah satu
blok, tetapi sekaligus diupayakan menuju politik berdikari dalam bidang ekonomi
dan menolak setiap ketergantungan kepada imperialisme. Berdikari di bidang
ekonomi dianggap sebagai prasyarat untuk kemerdekaan sejati dalam bidang
politik maupun kebudayaan. Doktrin berdikari dianggap sebagai puncak dari
politik luar negeri yang benar-benar bebas. Aktif dalam politik luar negeri
diberi arti bahwa Indonesia harus mengambil peran sebagai pimpinan untuk membawa
semua kekuatan progresif ke dalam suatu front internasional untuk
kemerdekaan dan perdamaian untuk melawan imperialisme dan kolonialisme.
Sementara itu, Indonesia dalam perencanaan,
strategi, dan kebijakan pembangunan ekonomi, seperti yang dilakukan negara-negara
berkembang di luar Blok Sosialis sejak tahun 1950-an, ternyata tidak mampu
membendung pengaruh teori tentang pertumbuhan ekonomi yang melihat peranan
modal sebagai faktor yang paling menentukan dan sebagai parameter yang
strategis. Hasilnya, model dari teori ini diterapkan di Indonesia dengan
ambisius sesudah masa periode pascatahun 1966. Sudah tentu, terdapat berbagai
aspek pemikiran dan variasi teori yang diramu menjadi satu, tetapi semuanya
berkisar pada pokok pemikiran, yaitu pertumbuhan ekonomi yang mau tidak mau
sangat bergantung dengan bantuan luar negeri.
Singkatnya, strategi pencapaian target
pertumbuhan GNP yang tinggi dan cepat telah menyedot sumber energi bangsa guna
diarahkan pada kegiatan usaha di sektor modern walaupun sektor tradisional
katanya tidak dilupakan. Kenyataannya, memang tidak dipentingkan, bahkan kerap
kali harus dikorbankan demi mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi
setinggi-tingginya. Biar bagaimanapun, tingkat pertumbuhan yang diinginkan itu
sangat bergantung pada produktivitas yang harus dicapai dengan cara kerja yang
efisien. Selanjutnya, tingkat produktivitas bergantung pada teknologi, modal,
dan keterampilan yang tinggi. Disinilah lapisan masyarakat yang kurang
terampil, kurang pendidikan, kurang modal, dan kurang mampu menyerap teknologi
yang lebih maju terpaksa harus ditinggal dalam proses pembangunan.
Melalui strategi yang mengabdi kepada pertumbuhan
yang tinggi ini, pihak yang memperoleh kesempatan untuk maju adalah lapisan
masyarakat yang berpendidikan tinggi, memiliki modal, atau memiliki
keterampilan tinggi. Oleh karena lapisan masyarakat seperti ini memang tidak
besar di negara sedang berkembang, hanya sebagian kecil masyarakat yang akan
maju, bahkan menggeser golongan ekonomi rakyat. Hal ini tampak pada gejala
majunya industri modern yang berakibat pada matinya industri kecil dan sedang
yang tidak mampu bersaing karena sektor tradisional biasanya menyerap tenaga
kerja yang luas. Runtuhnya sektor ini praktis diikuti munculnya berbagai bentuk
pengangguran.
Lahirnya dampak sampingan itu sepertinya tidak
dihiraukan. Hal yang lebih penting digarap cara mencari dan mengakumulasi modal
besar itu untuk memajukan sektor modern. Dari titik tolak ini, hampir setiap
negara miskin, termasuk Indonesia, dihadapkan pada pilihan sulit, yaitu
lingkaran setan (vicious circle). Logikanya, kemampuan investasi
bergantung pada tingkat tabungan. Demikian juga jika peranan pemerintah sangat
diharapkan, tabungan pemerintah bergantung pada pendapatannya yang diperoleh
dari masyarakat lewat pajak. Jadi, tabungan pemerintah pun bergantung pada
penghasilan masyarakat yang bergantung pada kemampuan produksi. Hal ini kembali
lagi bergantung pada kemampuan investasinya.
Menghadapi masalah ini, Indonesia dan negara
berkembang pada tahap itu mempunyai dua pilihan: berusaha memperoleh modal dari
luar negeri atau bersandar pada milik mereka, khususnya sumber daya manusia
beserta kekayaan alamnya. Pilihan lain sudah barang tentu adalah mengundang
modal asing dan mendapatkan utang luar negeri. Masalah yang timbul dalam
pilihan-pilihan itu adalah tidak dapat dihindarinya ketergantungan pada
pemerintah lain dan modal asing, terutama perusahaan multinasional. Jika
tawar-menawar dari negara yang bersangkutan lemah, urusan penanaman modal dan
produksi yang dihasilkan akan ditentukan berdasarkan pada kepentingan luar
negeri yang kenyataannya mengabdi pada mencari keuntungan sebesar-besarnya
tanpa mempedulikan akibat-akibatnya. Demikian pula, investasi fasilitas umum
dan prasarana dari pemerintah pasti akan menjurus ke arah yang memperkuat
posisi, iklim, dan kondisi yang lebih baik bagi perkembangan
perusahaan-perusahaan asing, sektor modern, dan perkotaan. Akibat yang terjadi,
menajamnya disparitas sosial-ekonomi dan makin parahnya ketergantungan kepada
luar negeri yang diikuti ambruknya sektor ekonomi rakyat secara sistematis.
Ditulis dari buku
Judul : Transformasi Ekonomi Rakyat
Pengarang : Julius Bobo, SE, MM
Penerbit : Cidesindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar